42'days

42'days

Sore itu hujan deras, aku duduk di kursi panjang yang berada di teras rumahku. Meski hujan deras tetapi aku masih tetap tak beranjak dari tempat dudukku. Aku sengaja tak beranjak dari tempat dudukku meski air hujan perlahan-lahan mulai mengenai wajahku, aku masih tetap duduk dengan harapan kejadian itu bisa terulang kembali dan aku dapat bertemu dia kembali.  Aku kemudian memejamkan mataku dan perlahan mulai mengingat-ingat kembali kejadian itu. Hujan sore itu membuatku teringat padanya.  
Seorang laki-laki yang berjalan sendirian, dia berjalan menuju ke arahku dengan keadaan basah kuyub. Aku ingat jelas saat itu dia memakai kaos berwarna merah. Kulitnya putih, badannya tegap, dan wajahnya tak kalah tampan seperti aktor-aktor Korea. Lelaki itu tiba-tiba mendatangiku dengan wajah melas seperti anak kecil yang tak berdosa. Padangannya kosong seperti menyimpan kesedihan yang sangat mendalam. Lelaki itu terus saja memandingiku dengan tatapan kosong menyedihkan. Aku seperti bisa membaca pikirannya melalui tatapannya saja. Kupikir dia membutuhkan bantuan. Tetapi aku masih diam tak berani menyapanya, akhirnya kamipun hanya terdiam dan saling memandangi. Kami seperti bercakap melalui pandangan mata kami. 
Tiba-tiba suara petir menggelegar, menghentikan saling pandang kami. Aku segera mengalihkan pandanganku darinya. Dengan suara sedikit latah aku memberanikan diri bertanya pada lelaki yang berwajah tampan itu. 
"H h haaay.." (sapaku)
Namun aneh sekali, lelaki itu tak menjawab sapaku dan masih saja memandangi seperti ingin meminta bantuan dengan keadaan badan yang basah kuyup. Akupun merasa aneh dengan orang ini. 
Lalu kubilang "Kamu tidak bisa dengar?"
Lelaki itu tetap diam. Sekarang yang aku rasakan bukan aneh lagi, justru aku merasa takut karena laki-laki benar-benar aneh, dia tak sedikitpun menjawab pertanyaanku. Aku lalu cepat-cepat meninggalkannya dan bergegas masuk ke dalam rumah, Kukunci pintu rumahku rapat-rapat. Dari dalam rumah aku memperhatikan lelaki itu sambil betanya-tanya dalam hati (siapa dia? Untuk apa dia mendatangiku?). Lelaki itu masih berada di teras rumahku, dia tetap berada di sana dengan wajah yang sedih. Aku merasa kasihan melihatnya, lalu aku memberanikan diri keluar menemui lelaki itu. Aku mencoba mengajaknya berbicara namun dia tetap saja diam. Tak secuil katapun dia ucapkan. Kupikir mungkin orang ini tully. Karena di luar masih hujan deras, Aku kemudian mengajaknya masuk ke rumah.
"Apakah kamu punya nama?" (Aku bertanya padanya)
Namun dia tetap diam tidak menjawab. Wajahnya pucat, mungkin dia kedinginan. Lalu aku menyuruh Bibi Yem untuk membuatkan susu hangat dan membawakan handuk untuknya. Aku mengizinkannya menginap di rumahku karena aku kasihan, jadi kubiarkan dia menginap disini. Lagi pula banyak kamar yang kosong.
Beberapa hari berlalu, aku masih merasa aneh dengan lelaki itu. Dia masih tak bisa berbicara. Aku pun merawatnya seperti anak kecil. Laki-laki itu benar-benar polos seperti anak-anak, namun badannya tegap seperti orang dewasa. Aku dengan sabar mengajarinya berbicara, makan dengan benar, dan mengajaknya bermain. Perlahan-lahan dia mulai bisa berbicara menirukan aku. Meskipun bicaranya kadang tidak jelas setidaknya sekarang dia sudah bisa berbicara. Aku masih mengingat, kata pertama yang dia ucapakan saat itu. Dia menyebut namaku meski tak jelas.
 "N iii rrr m a..." 
Ya namaku Nirma, aku seharusnya kelas 3 sma namun aku terpaksa berhenti sekolah karena kedua orang tuaku meninggal saat aku duduk di kelas 2 sma. Bukan karena masalah biaya, namun aku merasa tak memiliki semangat hidup sejak kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan mobil tiga tahun yang lalu. Saat ini aku hidup bersama Mbak Yem pembantu rumah ini, karena tak ada satupun saudara baik dari ayahku maupun saudara dari ibuku yang mau menemaniku. Hanya Mbak Yem yang menemaniku. Aku hidup berkecukupan, warisan dari kedua orang tuaku masih sangat cukup untuk biaya hidupku. Meski ada Mbak Yem yang selalu menemani dan mengurusku tapi aku tetap saja merasa kesepian. 
Lalu Sore itu bersamaan dengan turunnya hujan, Tuhan mengirimkan teman untukku. Laki-laki berwajah tampan namun polos itu benar-benar merubah hidupku, sejak dia datang aku menjadi anak yang tidak murung lagi. Aku bisa tersenyum lagi. Dua tahun terakhir sejak orang tuaku meninggal aku memang susah untuk tersenyum, aku selalu murung dan banyak berdiam diri di kamar. Hidupku terasa sepi sebelum lelaki itu datang. Aku merasa do'aku telah dikabulkan Tuhan. Aku bersyukur Tuhan mengirimkan teman untukku.
Kamipun akhirnya menjadi teman. Dan sangat akrab. Makan bersama, bermain bersama, belajar bersama, dan melakukan aktivitas lainnya. 
"Heyy..kupikir kamu perlu dikasih nama, kira-kira nama apa yang cocok buat kamu ya? Bagaimana kalau Rain , Bagaimana? Kamu setuju?" 
"Terserah nirma.." (hanya tersenyum)
Kini lelaki itu sudah mempunayi nama Nirma memberikan nama Rain karena dia datang pada saat hujan turun. Semakin lama Rain semakin menjadi sosok yang dewasa. Dia mulai menyukai membaca, dia sering membaca buku-bukuku yang aku pinjamkan padanya. Dia selalu menemaniku seperti anak anjing yang setia kepada majikannya. Kalau saja dia perempuan mungkin aku akan mengizinkannya menemaniku tidur. Dia sangat cepat dalam belajar, hanya beberapa hari saja aku mengajarinya berbicara dia sudah bisa menirukanku berbicara. 
Aku berpikir mungkin setelah Rain bisa berbicara rasa penasaranku mengenai dirinya bisa terjawab. Pertanyaan-pertanyaanku mungkin akan bisa dia jawab sekarang. Sebenarnya siapa laki-laki yang tiba-tiba muncul seperti malaikat yang dikirim Tuhan ini. Aku memang sempat bingung dengan kehadirannya, namun perlahan aku menerimanya. Bahkan aku senang dia hadir dalam hidupku. "Sekarang dia sudah bisa berbicara, mungkin aku bisa menanyakan langsung tentang itu padanya.." (aku berbicara sendiri dalam kamarku)
Aku kemudian keluar dari kamarnku hendak menemui Rain yang sedang menonton tv. Aku segera bergegas menyapanya.
"Heyy.. nonton tv ya?"
"Eh.. Nirma, sini nonton tv juga sama Rain"
"Hey.. apakah aku boleh bertanya mengenai kamu, Rain?"
"Boleh saja Nir, silakan tanya.."
"Kamu, kamu, emm... kamu sebenarnya datang darimana Rain? Dan untuk apa kamu datang kesini menemuiku?" (Aku merasa gugup menanyakan hal ini)
Rain hanya terdiam dengan wajahnya yang tetap saja masih polos. Yang dia ucapakan waktu itu, dia sendiri tidak tau dia berasal darimana. Namun dia ingat untuk apa dia datang menemui Nirma, Rain bilang dia diutus oleh seseorang untuk menemani seorang gadis mungil yang kesepian dan sedih. Jawaban Rain membuatku semakin merassa kebingungan, siapa sebenarnya lelaki itu, dan siapa yang mengutusnya. Aku tak mau mengambil pusing mengenai hal itu, aku simpan kebingungan itu sendiri. Yang aku pikirkan sekarang adalah sekarang aku sudah memiliki teman dan hidupku menjadi lebih bahagia semenjak ada Rain. Aku benar-benar takut jika suatu saat Rain tiba-tiba pergi, seperti kedua orang tuaku yang pergi meninggalkan aku. Aku hanya ingin seorang teman yang selalu ada untukku, karena aku takut kesepeian. Aku benar-benar takut kehilangan Rain. 
"Sudah Rain, kamu gak usah bingung, jangan pikirkan mengenai pertanyaanku yang tadi. Aku hanya bercanda saja. Rain.. Aku hanya ingin kamu tetap tinggal bersamak Rain. Kamu harus janji tidak boleh pergi, Janji Rain?"
"Aku gak mau pergi, aku mau sama Nirma terus :).."  
Aku senang, kini aku punya teman yang selalu menemaniku. Kamipun hidup bersama seperti kakak beradik. Kami sangat akrab. Sejak pertemuan kami saat itu, aku selalu melingkari tanggal pada kalenderku. Terhitung sudah 42 hari kami bersama. 
Tepat di 42 hari kami bersama, Sore itu hujan turun, suasanya sama persis seperti saat pertama kali Aku bertemu dengan Rain. Aku kemudian ke teras rumah dan duduk seperti saat kejadian itu terjadi. Aku memandangi langit yang mendung dan menjatuhkan airnya itu. Lalu tiba-tiba langit yag awalnya mendung dan hujan tiba-tiba menjadi cerah begitu saja. Aku heran, kemudian aku segera masuk dan memanggil-manggil Rain berniat ingin memberitahunya tentang keanehan yang baru saja aku lihat. 
"Raiin..."
"Rain.. Rain.. Rain.."
Tetapi tidak ada jawaban dari Rain. Aku mencarinya kemana-mana, di kamar Rain, ke ruang tamu, ke kamarku, dapur, depan tv, namun Rain tidak kutemukan. Rain tidak ada dimana-mana. Rain menghilang, dia menghilang entah kemana. 
“Dimana kamu Rain? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang?”
"Tuhan, mengapa Engkau mengirimkan teman untukku namun Engkau ambil lagi dariku.." (Aku menangis sekencang-kencangnya) 
Kekhawatiranku selama ini sudah terjadi, temankku meninggalkanku. Rain pergi, dia tidak menepati janjinya padaku. Rain menghilang dengan bersamaan hilangnya mendung dan hujan itu. 
Aku bingung, kemana sebenarnya perginya Rain. Sampai saat ini Aku masih terus berharap Rain kembali lagi bersamaku. Aku berharap di hujan yang sama ini Aku bisa bertemu dengan Rain kembali. Aku benar-benar sedih, kini hanya ada kenangan saat hujan turun. Sekarang aku berteman kembali dengan sepi, tak ada sosok Rain lagi. Yang tersisa hanya kaos merah Rain. Sekarang aku sadar, bahwa yang paling setia ternyata hanya sepi. Aku berharap akan ada lagi sosok seperti Rain lagi dalam hidupku.
Karya: Aulia Shery Choriah (UPGRIS)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Novel Cado-Cado

Catatan Perjalanan

Contoh Opini tentang Korupsi